1 March " Korean Independent Movement"
Jepang menerapkan kebijakan pembauran di wilayah jajahan dengan cara melakukan ‘Jepangisasi’ terhadap kebudayaan, adat-istiadat, bahasa dan sejarah Korea; selain itu juga mengalihkan berbagai sumber ekonomi ke Jepang. Negara-negara Barat waktu itu telah memerintah negara jajahan mereka secara tidak langsung dalam bentuk pengeksporan berbagai sumberdaya lokal dan permodalan. Namun Jepang tidak cukup memiliki kemampuan untuk memerintah Korea dengan cara mengendalikan mekanisme pasar. Bentuk pemerintahan langsung menjadi tidak terhindarkan, sehingga itulah sebabnya pemerintahan penjajahan Jepang jauh lebih kejam daripada berbagai negara penjajah saat itu.
Survei pertanahan oleh Jepang di seluruh wilayah Korea yang dimulai tahun 1910, telah menyebabkan para petani Korea kehilangan tanah warisan nenek-moyang mereka dan menjadi penyewa tanah yang miskin. Sebagian petani pindah ke kota dan menjadi buruh, namun mereka diperlakukan tidak adil karena hanya memperoleh kurang dari separoh upah yang diterima oleh para pekerja Jepang. Mereka dilarang berbicara bahasa Korea dan mulai diperkenalkan sistim pendidikan gaya Jepang. Tokyo menerapkan berbagai kebijakan yang disebutnya ‘pembauran’ meskipun sesungguhnya sangat didasarkan atas asas diskriminasi. Jepang juga menempatkan aparat kepolisian di seluruh penjuru Korea dan membentuk sebuah sistim pengawasan masyarakat. Akibatnya, Semenanjung Korea seolah berubah menjadi sebuah penjara tanpa jeruji besi.
Namun dalam ketatnya kekuasaan seperti itu, berbagai kekuatan perlawanan anti-Jepang di Korea berhasil membentuk jaringan rahasia dan mengumpulkan dana untuk mendukung aneka gerakan kemerdekaan di luar negeri. Jepang berusaha menggagalkannya tetapi para pejuang terus melanjutkan perjuangan dari berbagai basis di luar negeri seperti Manchuria, Siberia, dan Hawaii. Gerakan kemerdekaan pada waktu itu secara umum dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama adalah kelompok yang berpikir bahwa Korea dijajah karena Korea lemah sehingga mereka berusaha membentuk berbagai kesatuan pasukan bersenjata dan berjuang mencapai kemerdekaan dengan cara memerangi Jepang. Kelompok lainnya adalah mereka yang percaya bahwa negara kehilangan kedaulatan karena kurangnya pendidikan, sehingga mereka mendirikan sekolah-sekolah dan mengembangkan berbagai bakat untuk mengalahkan Jepang. Dan kelompok terakhir adalah mereka yang berjuang untuk kemerdekaan diplomatik dengan mengutamakan diplomasi terhadap negara-negara adidaya untuk berjuang memengaruhi dan menekan Jepang. Mereka yakin bahwa sekeras apapun usaha Korea akan sulit untuk menundukkan negara penjajah atas kekuatannya sendiri.
Memasuki tahun kesepuluh pemerintahan penjajahan yang kejam, rakyat Korea tanpa pandang kelas sosialnya, telah begitu tertindas sehingga mereka sangat menginginkan kemerdekaan. Lalu sebuah dorongan datang dari luar negeri, yaitu di bulan Januari 1918 di hari-hari terakhir Perang Dunia I, ketika Presiden A.S. Woodrow Wilson mengumandangkan prinsip penentuan nasib sendiri tiap bangsa di dunia. Di bulan Pebruari 1919, sekitar 400 mahasiswa Korea di Jepang menyatakan sebuah deklarasi dan resolusi untuk kemerdekaan Korea. Deklarasi kemerdekaan 8 Pebruari untuk kemerdekaan tersebut bergaung keras ke seluruh penjuru Korea. Dan sebelumnya di akhir bulan Januari, mantan Raja Gojong wafat. Rakyat menduga bahwa kematiannya yang sengaja ditutup-tutupi itu karena diracun, meskipun tidak bisa dibuktikan. Desas-desus kematian itu sedemikian hebat mengguncang dan membuat frustrasi rakyat Korea sehingga terjadilah peristiwa 1 Maret 1919.
Puluhan ribu orang berkumpul di Taman Pagoda di wilayah pusat kota di Jongro. Sorak-sorai massa membahana ketika seorang mahasiswa naik ke podium dan mulai membacakan Deklarasi Kemerdekaan. Isinya: “Kami menyatakan bahwa Korea adalah sebuah negara berdaulat dan bahwa kami bangsa Korea adalah bangsa yang bebas. Kami menyatakan hal ini kepada dunia untuk mewujudkan kesetaraan derajat manusia dan juga untuk masa depan generasi Korea agar mereka secara terus-menerus memelihara pemerintahan mereka sendiri.”
Gerakan kemerdekaan 1 Maret seketika menyebar ke seluruh penjuru negeri. Meskipun pada awalnya dipelopori oleh mahasiswa dan kalangan elite, tetapi kemudian para petani, pekerja dan pedagang mengambil peran utama. Gerakan damai juga berubah menjadi perlawanan bersenjata. Para demonstran dengan senjata seadanya menyerang kantor kepala daerah setempat, markas tentara militer, kantor polisi, perusahaan pengelola tanah dan rumah para tuan tanah yang pro-Jepang, serta membakar berbagai dokumen catatan sensus dan pajak. Sebagai balasan, Jepang menangkapi para tokoh demonstran sampai ke kota-kota kecil dan menumpas perlawanan mereka dengan tembakan dan pembantaian tanpa pandang bulu. Menurut data statistik resmi Jepang, 7.500 orang tewas, 6.000 orang luka-luka dan 46.000 orang ditangkap selama dua bulan rangkaian demonstrasi mulai tanggal 1 Maret. Pihak Jepang menyatakan bahwa 49 gereja dan sekolah serta lebih dari 700 rumah terbakar, namun jumlah korban yang sebenarnya dan kerusakannya pasti jauh lebih banyak lagi.
Gerakan 1 Maret merupakan letusan perasaan rakyat Korea yang terpendam sejak mereka dijajah. Gerakan itu memperkokoh kesadaran rakyat Korea dan lebih daripada itu, menandai sebuah titik balik dalam gerakan kemerdekaan karena melahirkan pemerintahan sementara Korea di Shanghai, yaitu tempat darimana pemerintahan resmi negeri itu dibentuk di kemudian hari. Penindasan Jepang terus berlangsung sampai tanggal 15 Agustus 1945, yaitu ketika kaisar Jepang mengumumkan penyerahan diri tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu di akhir Perang Dunia II.
1:15 PM
|
|
This entry was posted on 1:15 PM
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
0 comments:
Post a Comment